Yes, I am With You Erica!

Saya baru saja menemukan postingan blog yang membahas pidato seorang lulusan terbaik SMA bernama Coxsackie-Athens High School di New York bernama Erica  Goldson. Memang saya agak telat mengetahui ini, tepatnya benar-benar telat karena pidato Erica disampaikan pada upacara kelulusannya pada tanggal 25 Juni 2010. Saya begitu kagum karena keberanian seorang Erica menyampaikan kejujuran dari hati nuraninya yang terdalam di depan khalayak bahkan ramai isi pidatonya dipublikasikan. Video yang diunggahnya sendiri di You Tube pun ditonton oleh 965.525 dan menuai beragam tanggapan. Buat yang belum tahu, ini kutipan terjemahan pidatonya Erica:

“Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.

Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini dan menuju tahap berikut yang diharapkan kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup bekerja.

Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.

Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?

Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan…….”

Saya kemudian terhenyak dan merasa ada sedikit perih di dada. Sebagai seseorang yang pernah mengenyam pendidikan formal sejak dari umur 4 tahun dan sekarang menjadi seorang pendidik tentu sedikit banyak saya sudah merasakan seperti apa sistem pendidikan yang dijalankan di negara kita ini. Tentu saja saya bukanlah murid yang pintar sekali seperti Erica. Saya tipe murid yang biasa-biasa saja. Namun apa yang terjadi setelah saya menyelesaikan TK, SD, SMP dan SMA ? saya sama sekali tidak bisa mengingat pelajaran apapun yang diajarkan di Sekolah. Kalau bisa dihitung dalam persen mungkin hanya 20% mata pelajaran yang masih saya ingat di umur saya yang ke 30 tahun ini. Memori yang terekam ketika sekolah tentu saja tentang persahabatan, percinta-monyet-an, masa-masa ngegank, bolos sekolah, tipe-tipe guru, makanan di kantin. Ya, saya sedang berusaha jujur. Saya pikir sekolah adalah sebuah tekanan bagi kebanyakan dari kami. Semua materi yang kami dapat tidak dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata alih alih menciptakan diri saya menjadi pribadi kreatif. Justru kekreatifan itu saya dapatkan dari menonton film dan membaca komik hehe. Intinya belajar di sekolah hanya sekedar sebagai kewajiban bukan panggilan dalam diri bahwa saya butuh belajar dan saya suka belajar. Well itu pengalaman saya.

Saya merasa benar-benar jadi seorang pembelajar ketika saya berada di tahun kedua masa kuliah saya di FKIP Pendidikan Bahasa Inggris sebuah Universitas di Kalimantan Timur. Lompatan berpikir itu membuat saya seperti seseorang yang baru bangun dari mati suri. Selama ini saya memang merasa seperti robot dan sama sekali tidak belajar apapun kecuali itu adalah sistem pemrograman dan kemudian hilang tak berbekas. Saya mulai suka membaca buku dan berdiskusi. Saya mulai menganut falsafah pembelajar mandiri dengan tagline belajar dimana saja, kapan saja dan bersama siapa saja yang mencerahkan. Ya, saya mulai merasa otak terisi maksimal ketika saya hijrah menjadi pembelajar mandiri, saya belajar tanpa keterpaksaan dengan seluruh jiwa dan raga saya.

Berbicara tentang Erica, wajar apabila dia merasakan hal sedemikian dan itu juga terjadi di dalam sistem pendidikan negara kita. Anak didik hanya ditargetkan mencapai nilai tinggi dalam pelajaran, karena itu sistem kejar nilai tinggi selalu ditekankan oleh guru-guru dan sekolah. Jangan heran lembaga Bimbel tumbuh subur karena murid dan orangtua membutuhkannya agar anak-anak mereka menjadi juara dan terbaik di sekolahnya. Belajar hanya untuk mengejar nilai semata, sementara kreativitas dan soft skill yang penting untuk bekal kehidupan terabaikan. Sistem pendidikan seperti ini membuat anak didik tumbuh menjadi anak “penurut” ketimbang anak kreatif. Anak-anak jaman sekarang seolah tidak punya waktu lagi untuk bermain, karena mereka sedari dini disekolahkan dan harus mengejar nilai tinggi yang menyebabkan mereka harus mengikuti les di luar jadwal sekolah. Jadi, apa peran sekolah jika anak masih membutuhkan les di luar jam belajar. Jika anak hanya bisa memahami mata pelajaran dengan cara les/bimbel, kenapa harus anak bersekolah dengan  membawa tas yang berat karena seabreg mata pelajaran baik yang disukai maupun yang tidak disukai harus dipelajari dan harus mencapai KKM. Bukankah lebih baik jika mereka les/bimbel saja tanpa perlu sekolah untuk kemudian ikut ujian Paket dan tetap mendapat ijazah? Toh mata pelajaran yang di UN kan tidak semua mata pelajaran, seolah-olah ada sistem pengkastaan dalam mata pelajaran dan kepintaran seseorang harus diukur dari tingginya nilai Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris sehingga mengesampingkan kecerdasan anak dalam bidang lain. Faktanya memang sekarang anak hanya dididik untuk siap dalam hard skill dan tidak dibekali dengan ketrampilan hidup, bagaimana nanti dia siap menghadapi kehidupan dunia nyata yang memerlukan ketrampilan berkomunikasi, berdiplomasi, hubungan antar personal, dan lain-lain.

Sad but true

Sad but true

Pertanyaan-pertanyaan demikianlah yang sering berkecamuk seiring dengan perkembangan diri saya sebagai pembelajar mandiri. Pun Alloh mempertemukan saya dengan orang-orang sepemikiran dan saya begitu lega mengetahui bahwa saya tidak sendiri. Saya yang sekarang adalah seorang guru yang merasa terjebak dalam sistem dan juga sebagai orang tua yang khawatir dengan masa depan anaknya. Saya memang tidak bisa mengubah masa lalu saya, tapi saya punya anak dan tidak ingin salah dalam mendidiknya. Akhirnya sayapun bergabung dalam komunitas Indonesia Homeschooler dimana disana kami sharing tentang segala sesuatu tentang mendidik anak untuk menjadi seorang pembelajar mandiri. Apakah saya akan menyekolahkan anak saya? Di umurnya yang ke 4 ini saya belum berniat menyekolahkannya, namun memang dari dia masih bayipun saya sudah menciptakan suasana yang menstimulasinya untuk belajar bersama saya. Bukankah seorang Ibu adalah madrasah? saya baru merasakan sebenar-benarnya arti kalimat ini. Raising my child is raising myself. Mempunyai anak mengubah banyak sisi dalam kehidupan saya. Saya yang dulu gila nonton tv menjadi seorang yang lebih banyak menyaksikan TV dalam keadaan blank. Saya lebih banyak membaca dan menyediakan buku-buku untuk menstimulasi anak saya. Tujuannya bukan karena ingin anak saya segera bisa membaca, tentu tidak. Saya hanya ingin dia terbiasa dengan membaca daripada menonton. Saya juga melibatkan dia dalam aktivitas harian dalam rumah tangga. Membangun hardskill dan tentu saja softskillnya. Kalau anda menonton film kartun berseri dengan judul Timmy Time, betapa menyenangkannya sebuah sekolah buat anak. Itulah sebenar-benarnya sekolah usia dini. Mereka hanya bermain tapi dari permainan itu tercipta sebuah pembelajaran dan mereka menjadi anak-anak yang kreatif. Sementara kebanyakan paud disini sudah mengajarkan pengenalan huruf dan menulis padahal tidak semua anak memiliki kesiapan yang sama. Seharusnya kita mencontoh Finlandia yang mewajibkan anak yang masuk sekolah formal di usia ke 7 karena pada usia itu  mereka sudah siap untuk belajar membaca dan menulis. Anda bisa googling sendiri untuk mendapat informasi lebih lanjut daripada membaca curhatan kegalauan emak-emak di blog ini. Dan begitulah yang akan saya lakukan, Better Late Than Early, saya akan mengikuti alur perkembangan anak laki-laki saya dan mendampinginya juga mengarahkannya dengan baik. Jika dia ingin sekolah, tentu saya akan membiarkannya tanpa menekan dia harus punya nilai tinggi disini dan disana. Dia akan siap kapanpun dia siap untuk bersekolah. Sementara ini, saya biarkan dia ‘hanya’ bergelar homeschooler/unschooler dan membiarkannya puas menikmati masa kecilnya dengan bermain di rumah dan di lingkungan sekitar kami. Semua hal bisa jadi bahan pembelajaran dan semua akan menjadi petualangan menyenangkan bagi kami berdua.

Pada bagian akhir tulisan ini  saya salinkan naskah pidatonya secara lengkap yang saya salin dari blognya Erica:

Here I Stand
Erica Goldson


        There is a story of a young, but earnest Zen student who approached his teacher, and asked the Master, “If I work very hard and diligently, how long will it take for me to find Zen? The Master thought about this, then replied, “Ten years.” 
The student then said, “But what if I work very, very hard and really apply myself to learn fast – How long then?” Replied the Master, “Well, twenty years.” “But, if I
really, really work at it, how long then?” asked the student. “Thirty years,” replied the Master. “But, I do not understand,” said the disappointed student. “At each time that I say I will work harder, you say it will take me longer. Why do you say that?” 
Replied the Master, “When you have one eye on the goal, you only have one eye on the path.”
        This is the dilemma I’ve faced within the American education system. We are so focused on a goal, whether it be passing a test, or graduating as first in the class. However, in this way, we do not really learn. We do whatever it takes to achieve our original objective.
        Some of you may be thinking, “Well, if you pass a test, or become valedictorian, didn’t you learn something? Well, yes, you learned something, but not all that you could have. Perhaps, you only learned how to memorize names, places, and dates to later on forget in order to clear your mind for the next test. School is not all that it can be. Right now, it is a place for most people to determine that their goal is to get out as soon as possible.
        I am now accomplishing that goal. I am graduating. I should look at this as a positive experience, especially being at the top of my class. However, in retrospect, I cannot say that I am any more intelligent than my peers. I can attest that I am only the best at doing what I am told and working the system. Yet, here I stand, and I am supposed to be proud that I have completed this period of indoctrination. I will leave in the fall to go on to the next phase expected of me, in order to receive a paper document that certifies that I am capable of work. But I contest that I am a human being, a thinker, an adventurer – not a worker. A worker is someone who is trapped within repetition – a slave of the system set up before him. But now, I have successfully shown that I was the best slave. I did what I was told to the extreme. While others sat in class and doodled to later become great artists, I sat in class to take notes and become a great test-taker. While others would come to class without their homework done because they were reading about an interest of theirs, I never missed an assignment. While others were creating music and writing lyrics, I decided to do extra credit, even though I never needed it. So, I wonder, why did I even want this position? Sure, I earned it, but what will come of it? When I leave educational institutionalism, will I be successful or forever lost? I have no clue about what I want to do with my life; I have no interests because I saw every subject of study as work, and I excelled at every subject just for the purpose of excelling, not learning. And quite frankly, now I’m scared.
        John Taylor Gatto, a retired school teacher and activist critical of compulsory schooling, asserts, “We could encourage the best qualities of youthfulness – curiosity, adventure, resilience, the capacity for surprising insight simply by being more flexible about time, texts, and tests, by introducing kids into truly competent adults, and by giving each student what autonomy he or she needs in order to take a risk every now and then. But we don’t do that.” Between these cinderblock walls, we are all expected to be the same. We are trained to ace every standardized test, and those who deviate and see light through a different lens are worthless to the scheme of public education, and therefore viewed with contempt.
        H. L. Mencken wrote in The American Mercury for April 1924 that the aim of public education is not

to fill the young of the species with knowledge and awaken their intelligence. … Nothing could be further from the truth. The aim … is simply to reduce as many individuals as possible to the same safe level, to breed and train a standardized citizenry, to put down dissent and originality. That is its aim in the United States. (Gatto)

To illustrate this idea, doesn’t it perturb you to learn about the idea of “critical thinking.” Is there really such a thing as “uncritically thinking?” To think is to process information in order to form an opinion. But if we are not critical when processing this information, are we really thinking? Or are we mindlessly accepting other opinions as truth?
This was happening to me, and if it wasn’t for the rare occurrence of an avant-garde tenth grade English teacher, Donna Bryan, who allowed me to open my mind and ask questions before accepting textbook doctrine, I would have been doomed. I am now enlightened, but my mind still feels disabled. I must retrain myself and constantly remember how insane this ostensibly sane place really is.
        And now here I am in a world guided by fear, a world suppressing the uniqueness that lies inside each of us, a world where we can either acquiesce to the inhuman nonsense of corporatism and materialism or insist on change. We are not enlivened by an educational system that clandestinely sets us up for jobs that could be automated, for work that need not be done, for enslavement without fervency for meaningful achievement. We have no choices in life when money is our motivational force. Our motivational force ought to be passion, but this is lost from the moment we step into a system that trains us, rather than inspires us.
        We are more than robotic bookshelves, conditioned to blurt out facts we were taught in school. We are all very special, every human on this planet is so special, so aren’t we all deserving of something better, of using our minds for innovation, rather than memorization, for creativity, rather than futile activity, for rumination rather than stagnation? We are not here to get a degree, to then get a job, so we can consume industry-approved placation after placation. There is more, and more still.
        The saddest part is that the majority of students don’t have the opportunity to reflect as I did. The majority of students are put through the same brainwashing techniques in order to create a complacent labor force working in the interests of large corporations and secretive government, and worst of all, they are completely unaware of it. I will never be able to turn back these 18 years. I can’t run away to another country with an education system meant to enlighten rather than condition. This part of my life is over, and I want to make sure that no other child will have his or her potential suppressed by powers meant to exploit and control. We are human beings. We are thinkers, dreamers, explorers, artists, writers, engineers. We are anything we want to be – but only if we have an educational system that supports us rather than holds us down. A tree can grow, but only if its roots are given a healthy foundation.
        For those of you out there that must continue to sit in desks and yield to the authoritarian ideologies of instructors, do not be disheartened. You still have the opportunity to stand up, ask questions, be critical, and create your own perspective. Demand a setting that will provide you with intellectual capabilities that allow you to expand your mind instead of directing it. Demand that you be interested in class. Demand that the excuse, “You have to learn this for the test” is not good enough for you. Education is an excellent tool, if used properly, but focus more on learning rather than getting good grades.
        For those of you that work within the system that I am condemning, I do not mean to insult; I intend to motivate. You have the power to change the incompetencies of this system. I know that you did not become a teacher or administrator to see your students bored. You cannot accept the authority of the governing bodies that tell you what to teach, how to teach it, and that you will be punished if you do not comply. Our potential is at stake.
        For those of you that are now leaving this establishment, I say, do not forget what went on in these classrooms. Do not abandon those that come after you. We are the new future and we are not going to let tradition stand. We will break down the walls of corruption to let a garden of knowledge grow throughout America. Once educated properly, we will have the power to do anything, and best of all, we will only use that power for good, for we will be cultivated and wise. We will not accept anything at face value. We will ask questions, and we will demand truth.
        So, here I stand. I am not standing here as valedictorian by myself. I was molded by my environment, by all of my peers who are sitting here watching me. I couldn’t have accomplished this without all of you. It was all of you who truly made me the person I am today. It was all of you who were my competition, yet my backbone. In that way, we are all valedictorians.
        I am now supposed to say farewell to this institution, those who maintain it, and those who stand with me and behind me, but I hope this farewell is more of a “see you later” when we are all working together to rear a pedagogic movement. But first, let’s go get those pieces of paper that tell us that we’re smart enough to do so!

“Graduating with honors will provide many advantages when applying for a doctoral degree, as it’s an obvious demonstration of your capabilities as a student and a professional.”

Dan saya dengan yakin menyatakan, Yes, I am With You Erica!

About Unbelieveableme

Its just me and my simple life. Its UNBELIEVABLE that I am ABLE to be myself, get to know me, read my life :)
This entry was posted in Reflection, Teacher's life and tagged , , , . Bookmark the permalink.

2 Responses to Yes, I am With You Erica!

  1. Assalamu’alaykum bu dini. Salam kenal. Saya dian, seorang guru juga. Saya sangat bahagia ketemu blog ini. Inspiratif. Dan saya ingin belajar banyak dari bu dini.

  2. difiya3589 says:

    Assalamu’alaykum bu dini. Salam kenal. Saya dian, seorang guru juga. Saya sangat bahagia ketemu blog ini. Inspiratif. Dan saya ingin belajar banyak dari bu dini.

Leave a comment